Diskusi tentang perdagangan
bebas sebenarnya didasarkan atas asumsi "pasar bebas" (free market).
Karena dianut prinsip pasar bebas, maka dianut pula perdagangan bebas. Yang
satu di tingkat individual, yang kedua di tingkat negara. Adam Smith, walaupun
tujuan terakhirnya adalah bicara tentang perdagangan bebas, dia menyediakan
cukup alinea untuk pasar bebas.
Smith memahami individu
mengadakan tukar-menukar barang (exchange) dalam sebuah arena yang tidak
dicampuri oleh negara. Artinya, negara tidak mengatur apa yang harus dijual dan
apa yang harus dibeli. Atas dasar kebutuhan seorang individu akan menentukan
apa yang dijual dan apa yang dibeli. Individu itu rasional, tahu betul apa
"kepentingan pribadinya" (self-interest).Seorang konsumen tidak akan
membeli terlalu banyak, demikian pula seorang produsen tidak akan menjual
terlalu banyak. Dengan demikian masyarakat tidak akan mengalami kekurangan atau
kelebihan. Ada sebuah "tangan tak kelihatan" (invisible hand),
katanya, yang membimbing semua ini. Pasti tangan tak kelihatan bukan negara
(negara diibaratkan sebagai tangan yang kelihatan!).
Bagaimana ini mungkin? Kalau
individu hanya memikirkan kepentingan pribadinya, dan tangan tak kelihatan
menjadi pembimbingnya, bukankah masyarakat akan hancur? Smith mengatakan justru
karena individu memikirkan kepentingan pribadinya maka masyarakat akan
sejahtera! Hal yang kelihatannya kontradiktif diterangkan oleh Smith sebagai
berikut. Bayangkan ada seorang penjual roti. Kegiatan ini dilakukan karena dia
ingin mendapatkan nafkah dan karena dia tidak bisa menjual yang lain. Kegiatan
yang kelihatannya egois ini ternyata membawa manfaat bagi orang banyak karena
dengan demikian orang dapat menikmati roti. Si penjual roti tentu tidak
berpikir bahwa dia sedang "membantu" orang lain, dia hanya berpikir
untuk mendapatkan nafkah! Kalau situasi ini dilakukan oleh semua orang, seluruh
masyarakat akan menikmati aneka macam produk. Beginilah Smith merumuskan
pendapatnya itu dalam kutipan yang terkenal:
"He … neither intends to
promote the public interest, nor knows how much he is promoting it … he intends
only his own gain, and he is in this, as in many other cases, led by an
invisible hand to promote an end which was no part of his intention.”
Dalam perkembangannya apa yang
dikemukakan oleh Adam Smith ini terkenal dengan yang disebut "mekanisme
pasar" yang didasarkan atas "hukum permintaan dan penawaran"
(the law of supply and demand). Seperti kita pelajari di bangku SMU, hukum ini
dikatakan selalu mengarah kepada titik keseimbangan (equilibrium), ada
keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Ketika terjadi kenaikan
permintaan, harga akan naik, dan ini mendorong produsen untuk menambah
persediaan barang. Ketika terjadi persediaan yang terlalu besar, harga akan
turun, produsen akan mengurangi produksi barang tersebut. Segera nampak bahwa
orang hanya harus memperhatikan naik turunnya harga (price) untuk mengetahui
titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran.
Mekanisme pasar ini memang bak
mesin, yang bisa berjalan sendiri, karena "tangan tak kelihatan."
Negara, kata Smith, tidak perlu mengutik-utik mesin yang sudah bisa jalan
sendiri ini. Lalu apa peran negara? Peran negara cukup di tiga bidang saja: (1)
menyediakan kepastian hukum, terutama dalam hal hak milik pribadi (private
property), (2) menyediakan keamanan (3) menyediakan infrastruktur. Demi
berlangsungnya sistem pasar, hak milik pribadi harus benar-benar terjaga, dan
hal ini hanya dapat dilakukan oleh negara. Keamanan (security) tidak bisa
disedikan oleh individu, terutama keamanan nasional. Negara harus mampu
menghimpun kekuatan untuk melawan serangan militer dari luar. Individu juga
tidak bisa menyediakan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik, air, dsb.)
karena hal ini termasuk public utility, yang bertentangan dengan self-interest.
Tiga hal ini yang mutlak diperlukan ekonomi.
Ajaran Adam Smith ini
benar-benar memukau orang pada jaman itu, juga pada jaman sekarang. Tetapi
seperti sudah dikatakan dalam uraian sebelum ini (Perdagangan Bebas), Adam
Smith juga pernah dicerca dan dihujat pada masa antara 1914-1945, ketika
prinsip pasar bebas dituduh sebagai biang kerok dari dua perang dunia yang
dahsyat itu. Pada tahun 1930 muncullah seorang ekonom, John Maynard Keynes,
juga seorang dari Inggris. Berlawanan dengan Adam Smith, Keynes malah
menganjurkan agar negara ikut masuk dalam pasar, ikut mempengaruhi pasar.
Konteks jaman itu adalah Depresi Besar, ketika perusahaan di seluruh dunia
bangkrut dan terjadi pengangguran besar. Keynes berpendapat situasi ini tidak
bisa diserahkan kepada "invisible hand," harus ada tindakan dari
negara. Atas anjuran Keynes ini Presiden Roosevelet di Amerika Serikat
mengadakan "New Deal" yang pada dasarnya memasukkan negara dalam
mekanisme pasar. Dan benar! Ekonomi Amerika perlahan-lahan ke luar dari
depresi.
"Keynesianism" ini
kemudian menguasai fakultas ekonomi di seluruh dunia. Mahasiswa ekonomi tidak
lagi berpikir tentang tangan tak kelihatan, tetapi tangan yang kelihatan! Hal
ini semakin populer ketika sesudah Perang Dunia II, negara-negara di Eropa
Barat membenahi puing-puing akibat perang, dan menyelenggarakan negara
kesejahteraan (welfare state). Negara sangat berperanan agar rakyatnya mampu
menikmati pelayanan yang murah dan bagus di bidang kesehatan, pendidikan, dan
pensiun hari tua. Banyak negara negara di Eropa Barat malahan juga menyediakan
listrik murah, air murah, perumahan murah, transportasi murah, dsb. Hal ini
dapat terjadi karena negara memainkan peran redistribusi, yaitu menerapkan
sistem pajak progresif. Semakin kaya orang, semakin dia harus membayar pajak
yang tinggi (bisa setinggi 40%). Dari hasil pajak ini, negara menyediakan semua
fasilitas yang disebut diatas.
Namun, memasuki tahun 1980-an,
Keynesianisme ini mengalami krisis. Sistem ini dianggap membuat orang tidak
produktif, dan tidak efisien, dan tentu saja membuat negara bangkrut. Margaret
Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat, merupakan dua orang
yang berani mendobrak dan ke luar dari Keynesianisme. Di Inggris sang
"Iron Lady" (demikian julukannya) membatalkan banyak hal dari welfare
state sehingga terjadilah demonstrasi besar-besaran di seluruh Inggris. Di
Amerika Serikat proses yang sama terjadi, walaupun sedikit lebih tenang. Pada
prinsipnya kedua orang ini ingin mengembalikan lagi sistem pasar bebas dengan
sedikit sekali peran negara. Dengan kata lain negara menarik diri (retreating)
dari ekonomi, membiarkan semua kegiatan ekonomi dijalankan oleh perusahaan
swasta (private enterprise). Apa yang dilakukan oleh negara lewat perusahaan
milik negara (istilah kita: BUMN), diserahkan kepada swasta.
Adam Smith bangkit dari mati!
Benar, dan tokoh yang membangkitkannya adalah seorang ekonom dari Universitas
Chicago, yaitu Milton Friedman. Ekonom yang satu ini membuktikan bahwa memasukkan
negara dalam ekonomi seperti diusulkan oleh Keynes itu salah. Apalagi yang
dilakukan di negara-negara komunis, tempat segala kegiatan ekonomi (produksi,
distribusi, konsumsi) dijalankan oleh negara. Friedman bergandengan tangan
dengan Frederick von Hayek, menyerang habis-habisnya semua sendi-sendi ajaran
Keynes mengenai negara, dan membangkitkan ajaran invisible hand dari Adam
Smith. Ajaran Friedman dan Hayek inilah yang kini dikenal dengan nama
"neo-liberalisme" karena mereka membangkitkan paham liberalisme dari
abad ke-18.
Bangkitnya neo-liberalisme ini
dapat dikatakan sebuah happy coincidence oleh para pendukung globalisasi. Dalam
suasana gemuruh perdagangan bebas, menguatnya paham pasar bebas benar-benar
merupakan sebuah berkah melimpah. Globalisasi ekonomi saat ini bersyukur
mendapatkan legitimasi teoretis, baik di tingkat internasional maupun di
tingkat nasional. Free market and free trade. John Williamson pada pertengahan
tahun 1990-an merumuskan apa yang terjadi ini dengan istilah "Washington
Consensus" karena memang ada konsensus di seluruh dunia bahwa ekonomi
harus dijalankan dengan tiga jurus: swastanisasi, deregulasi, perdagangan
bebas. "Deregulasi" berarti membuang regulasi oleh negara, tidak ada
lagi campur tangan negara, terutama di bidang subsidi.
Neo-liberalisme yang menjelma
menjadi Washington Consensus merambat ke seluruh dunia dengan kecepatan yang
mengagumkan. Yang membuat "Washington Consensus" ini diterapkan di
banyak negara adalah peran International Monetary Fund (IMF), World Bank dan
World Trade Organization (WTO). Setiap negara yang berurusan dengan tiga
lembaga internasional ini harus menerapkan Washington Consensus. Indonesia
tentu saja harus melaksanakannya karena Indonesia, ketika diterpa krisis
keuangan 1997, meminta bantuan dari IMF. Ini sebabnya di Indonesia sekarang
terjadi pengurangan subsidi pertanian, subsidi bahan bakar, dan subsidi
pendidikan. Juga terjadi privatisasi atas BUMN. Indonesia juga dipaksa untuk
mengimpor beras dengan bea masuk 0.
Perlawanan terhadap neo-liberalisme
atau Washington Consensus semakin menguat setelah melihat akibat buruk yang
ditimbulkan. Para aktivis seluruh dunia, baik dari negara miskin maupun negara
kaya, berkumpul dalam sebuah forum yang disebut World Social Forum setiap awal
tahun. Di antaranya adalah seorang pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi
2001, Joseph Stiglitz, yang menulis Globalization and Its Discontents (2001)
dan The Roaring Nineties(2003).
Sumber : criticalglobalisation.blogspot.co.id