Home » » TENTANG PASAR BEBAS

TENTANG PASAR BEBAS

Written By Budi Irawan on Kamis, 26 Mei 2016 | 05.31.00





Diskusi tentang perdagangan bebas sebenarnya didasarkan atas asumsi "pasar bebas" (free market). Karena dianut prinsip pasar bebas, maka dianut pula perdagangan bebas. Yang satu di tingkat individual, yang kedua di tingkat negara. Adam Smith, walaupun tujuan terakhirnya adalah bicara tentang perdagangan bebas, dia menyediakan cukup alinea untuk pasar bebas.

Smith memahami individu mengadakan tukar-menukar barang (exchange) dalam sebuah arena yang tidak dicampuri oleh negara. Artinya, negara tidak mengatur apa yang harus dijual dan apa yang harus dibeli. Atas dasar kebutuhan seorang individu akan menentukan apa yang dijual dan apa yang dibeli. Individu itu rasional, tahu betul apa "kepentingan pribadinya" (self-interest).Seorang konsumen tidak akan membeli terlalu banyak, demikian pula seorang produsen tidak akan menjual terlalu banyak. Dengan demikian masyarakat tidak akan mengalami kekurangan atau kelebihan. Ada sebuah "tangan tak kelihatan" (invisible hand), katanya, yang membimbing semua ini. Pasti tangan tak kelihatan bukan negara (negara diibaratkan sebagai tangan yang kelihatan!).

Bagaimana ini mungkin? Kalau individu hanya memikirkan kepentingan pribadinya, dan tangan tak kelihatan menjadi pembimbingnya, bukankah masyarakat akan hancur? Smith mengatakan justru karena individu memikirkan kepentingan pribadinya maka masyarakat akan sejahtera! Hal yang kelihatannya kontradiktif diterangkan oleh Smith sebagai berikut. Bayangkan ada seorang penjual roti. Kegiatan ini dilakukan karena dia ingin mendapatkan nafkah dan karena dia tidak bisa menjual yang lain. Kegiatan yang kelihatannya egois ini ternyata membawa manfaat bagi orang banyak karena dengan demikian orang dapat menikmati roti. Si penjual roti tentu tidak berpikir bahwa dia sedang "membantu" orang lain, dia hanya berpikir untuk mendapatkan nafkah! Kalau situasi ini dilakukan oleh semua orang, seluruh masyarakat akan menikmati aneka macam produk. Beginilah Smith merumuskan pendapatnya itu dalam kutipan yang terkenal:

"He … neither intends to promote the public interest, nor knows how much he is promoting it … he intends only his own gain, and he is in this, as in many other cases, led by an invisible hand to promote an end which was no part of his intention.”

Dalam perkembangannya apa yang dikemukakan oleh Adam Smith ini terkenal dengan yang disebut "mekanisme pasar" yang didasarkan atas "hukum permintaan dan penawaran" (the law of supply and demand). Seperti kita pelajari di bangku SMU, hukum ini dikatakan selalu mengarah kepada titik keseimbangan (equilibrium), ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Ketika terjadi kenaikan permintaan, harga akan naik, dan ini mendorong produsen untuk menambah persediaan barang. Ketika terjadi persediaan yang terlalu besar, harga akan turun, produsen akan mengurangi produksi barang tersebut. Segera nampak bahwa orang hanya harus memperhatikan naik turunnya harga (price) untuk mengetahui titik keseimbangan antara permintaan dan penawaran.

Mekanisme pasar ini memang bak mesin, yang bisa berjalan sendiri, karena "tangan tak kelihatan." Negara, kata Smith, tidak perlu mengutik-utik mesin yang sudah bisa jalan sendiri ini. Lalu apa peran negara? Peran negara cukup di tiga bidang saja: (1) menyediakan kepastian hukum, terutama dalam hal hak milik pribadi (private property), (2) menyediakan keamanan (3) menyediakan infrastruktur. Demi berlangsungnya sistem pasar, hak milik pribadi harus benar-benar terjaga, dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh negara. Keamanan (security) tidak bisa disedikan oleh individu, terutama keamanan nasional. Negara harus mampu menghimpun kekuatan untuk melawan serangan militer dari luar. Individu juga tidak bisa menyediakan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik, air, dsb.) karena hal ini termasuk public utility, yang bertentangan dengan self-interest. Tiga hal ini yang mutlak diperlukan ekonomi.

Ajaran Adam Smith ini benar-benar memukau orang pada jaman itu, juga pada jaman sekarang. Tetapi seperti sudah dikatakan dalam uraian sebelum ini (Perdagangan Bebas), Adam Smith juga pernah dicerca dan dihujat pada masa antara 1914-1945, ketika prinsip pasar bebas dituduh sebagai biang kerok dari dua perang dunia yang dahsyat itu. Pada tahun 1930 muncullah seorang ekonom, John Maynard Keynes, juga seorang dari Inggris. Berlawanan dengan Adam Smith, Keynes malah menganjurkan agar negara ikut masuk dalam pasar, ikut mempengaruhi pasar. Konteks jaman itu adalah Depresi Besar, ketika perusahaan di seluruh dunia bangkrut dan terjadi pengangguran besar. Keynes berpendapat situasi ini tidak bisa diserahkan kepada "invisible hand," harus ada tindakan dari negara. Atas anjuran Keynes ini Presiden Roosevelet di Amerika Serikat mengadakan "New Deal" yang pada dasarnya memasukkan negara dalam mekanisme pasar. Dan benar! Ekonomi Amerika perlahan-lahan ke luar dari depresi.


"Keynesianism" ini kemudian menguasai fakultas ekonomi di seluruh dunia. Mahasiswa ekonomi tidak lagi berpikir tentang tangan tak kelihatan, tetapi tangan yang kelihatan! Hal ini semakin populer ketika sesudah Perang Dunia II, negara-negara di Eropa Barat membenahi puing-puing akibat perang, dan menyelenggarakan negara kesejahteraan (welfare state). Negara sangat berperanan agar rakyatnya mampu menikmati pelayanan yang murah dan bagus di bidang kesehatan, pendidikan, dan pensiun hari tua. Banyak negara negara di Eropa Barat malahan juga menyediakan listrik murah, air murah, perumahan murah, transportasi murah, dsb. Hal ini dapat terjadi karena negara memainkan peran redistribusi, yaitu menerapkan sistem pajak progresif. Semakin kaya orang, semakin dia harus membayar pajak yang tinggi (bisa setinggi 40%). Dari hasil pajak ini, negara menyediakan semua fasilitas yang disebut diatas.

Namun, memasuki tahun 1980-an, Keynesianisme ini mengalami krisis. Sistem ini dianggap membuat orang tidak produktif, dan tidak efisien, dan tentu saja membuat negara bangkrut. Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat, merupakan dua orang yang berani mendobrak dan ke luar dari Keynesianisme. Di Inggris sang "Iron Lady" (demikian julukannya) membatalkan banyak hal dari welfare state sehingga terjadilah demonstrasi besar-besaran di seluruh Inggris. Di Amerika Serikat proses yang sama terjadi, walaupun sedikit lebih tenang. Pada prinsipnya kedua orang ini ingin mengembalikan lagi sistem pasar bebas dengan sedikit sekali peran negara. Dengan kata lain negara menarik diri (retreating) dari ekonomi, membiarkan semua kegiatan ekonomi dijalankan oleh perusahaan swasta (private enterprise). Apa yang dilakukan oleh negara lewat perusahaan milik negara (istilah kita: BUMN), diserahkan kepada swasta.

Adam Smith bangkit dari mati! Benar, dan tokoh yang membangkitkannya adalah seorang ekonom dari Universitas Chicago, yaitu Milton Friedman. Ekonom yang satu ini membuktikan bahwa memasukkan negara dalam ekonomi seperti diusulkan oleh Keynes itu salah. Apalagi yang dilakukan di negara-negara komunis, tempat segala kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi) dijalankan oleh negara. Friedman bergandengan tangan dengan Frederick von Hayek, menyerang habis-habisnya semua sendi-sendi ajaran Keynes mengenai negara, dan membangkitkan ajaran invisible hand dari Adam Smith. Ajaran Friedman dan Hayek inilah yang kini dikenal dengan nama "neo-liberalisme" karena mereka membangkitkan paham liberalisme dari abad ke-18.

Bangkitnya neo-liberalisme ini dapat dikatakan sebuah happy coincidence oleh para pendukung globalisasi. Dalam suasana gemuruh perdagangan bebas, menguatnya paham pasar bebas benar-benar merupakan sebuah berkah melimpah. Globalisasi ekonomi saat ini bersyukur mendapatkan legitimasi teoretis, baik di tingkat internasional maupun di tingkat nasional. Free market and free trade. John Williamson pada pertengahan tahun 1990-an merumuskan apa yang terjadi ini dengan istilah "Washington Consensus" karena memang ada konsensus di seluruh dunia bahwa ekonomi harus dijalankan dengan tiga jurus: swastanisasi, deregulasi, perdagangan bebas. "Deregulasi" berarti membuang regulasi oleh negara, tidak ada lagi campur tangan negara, terutama di bidang subsidi.

Neo-liberalisme yang menjelma menjadi Washington Consensus merambat ke seluruh dunia dengan kecepatan yang mengagumkan. Yang membuat "Washington Consensus" ini diterapkan di banyak negara adalah peran International Monetary Fund (IMF), World Bank dan World Trade Organization (WTO). Setiap negara yang berurusan dengan tiga lembaga internasional ini harus menerapkan Washington Consensus. Indonesia tentu saja harus melaksanakannya karena Indonesia, ketika diterpa krisis keuangan 1997, meminta bantuan dari IMF. Ini sebabnya di Indonesia sekarang terjadi pengurangan subsidi pertanian, subsidi bahan bakar, dan subsidi pendidikan. Juga terjadi privatisasi atas BUMN. Indonesia juga dipaksa untuk mengimpor beras dengan bea masuk 0.

Perlawanan terhadap neo-liberalisme atau Washington Consensus semakin menguat setelah melihat akibat buruk yang ditimbulkan. Para aktivis seluruh dunia, baik dari negara miskin maupun negara kaya, berkumpul dalam sebuah forum yang disebut World Social Forum setiap awal tahun. Di antaranya adalah seorang pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi 2001, Joseph Stiglitz, yang menulis Globalization and Its Discontents (2001) dan The Roaring Nineties(2003).


Sumber : criticalglobalisation.blogspot.co.id